Bekasi, 19 Juni 2019Oleh: Bagong Suyoto, Ketua Umum Asosiasi Pelapak dan Pemulung Indonesia (APPI) dan Ketua Koalisi Persampah Nasional (KPNAS).
Paradigma bahwa sampah sebagai komoditas sudah berjalan sejak lama. Sampah bisa jadi komoditas politik, bisa jadi komoditas ekonomi bisnis. Sehingga terjadi ekspor-impor sampah, bukan hanya komoditas pangan, kayu, besi, dll. Belakangan sampah sebagai komoditas ekonomi bisnis menjadi pembicaraan seru di dunia internasional.
Sudah cukup lama RRT/Cina salah satu negara di Asia Selatan menjadi tujuan impor sampah dari negara industri maju Eropa, Amerika, Jepang, dll. Selain itu negara-negara Asia Tenggara pun menjadi tujuan dan target pasar dumping sampah impor, seperti Thailand, Malaysia, Philipina, dan Indonesia. Pada awal Januari 2018 Cina mengeluarkan kebijakan menutup kran impor sampah disebut “National Sword Policy”. Akibatnya terjadi chaos industri daur ulang secara global. Selanjutnya impor sampah itu membanjiri negara Thailand, Malaysia, Pilipina, dan Indonesia.
Dalam buku Bagong Suyoto, Jejak Kaki Pemulung (KPNAS, 2005) mengupas perjuangan pemulung melawan sampah impor. Siaran pers sampah impor yang dikeluarkan komunitas pemulung bersama sejumlah LSM/NGOs mengungkap fakta mencengangkan. Sejak dekade 1970-an terungkap, bahwa Indonesia menjadi tempat pembuangan sampah negara-negara maju, seperti Jerman, Belanda, Jepang, Singapura dan terutama Amerika Serikat. Sampah-sampah tersebut dibuang di Indonesia melalui pelabuhan-pelabuhan di Jakarta, Surabaya dan Medan yang bea masuknya hanya 10%. Saat ini di Tanjung Priok teronggok lebih dari 116 peti kemas sampah impor terdiri dari plastic scrap, olymic scrap, consumer scrap, PVCs scrap dan aluminium scrap. Sementara itu, 48.000 ton sampah plastik dari Jerman sedang dalam perjalanan ke Indonesia. Menurut Bapedal sampah-sampah ini tergolong Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
Pada tahun 1990-an terdapat 17 importir sampah. Tak satu pun diantara mereka bersedia bertanggungjawab atas sampah-sampah tersebut, sekalipun telah terdapat larangan impor sampah (plastik) melalui Keputusan Menteri Perdagangan No. 349/Kp/XI/1992, dan sekali pun Jaksa Agung telah melakukan pemeriksaan di Tanjung Priok. Di sisi lain, puluhan ribu pemulung yang menggantungkan hidup dari sampah domestik terancam hidupnya.
Gudang-gudang dan pabrik-pabrik daur ulang semakin banyak yang mengelola sampah impor terutama di Cakung dan Kapuk. Harga-harga pungutan sampah domestik jatuh draktis hingga 60%. Pendapat pemulung dari Rp 6.000-7.000 jatuh menjadi Rp 2.500-3.500/hari pada tahun 1993-an. Masuknya sampah impor telah menyengsarakan hidup pemulung.
Pada dekade 2000-an arus impor sampah alias pembuangan sampah negara maju terus meningkat tajam berbarengan dengan tumbuhnya pabrik-pabrik daur ulang di Pulau Sumatera, Jawa, dll. Daur ulang sampah impor tumbuh semakin pesat di Jawa, mulai dari Banten, Bogor, Bekasi, Karawang, Indramayu, Cirebon hingga Mojokerto Jawa Timur.
Impor komoditas sampah tak terbendung, karena kuatnya networking bisnis sampah antara negara industri maju dengan negara berkembang. Mekanisme impor sampah di Indonesia diatur dalam Permendag No. 31/2016 guna mencukupi bahan baku berupa potongan plastik (recycle non B3) industri daur ulang domestik.
Data Kementerian Perindustrian RI (November 2018) menyebutkan, bahwa kebutuhan bahan baku industri nasional sekitar 5,6 juta ton/thn, dipenuhi berupa plastik virgin sekitar 2,3 juta ton/thn, impor 1,67 juta ton dan dari bahan baku scrap plastik domestik sekitar 1,1 juta ton. Sehingga kekurangan bahan baku scrap sekitar 600 ribu ton/tahun. Kekurangan scrap plastik, selama ini dipenuhi melalui impor rata-rata 110.750 ton/tahun.
Jika diperhatikan, bahwa selama ini paradigma yang digunakan adalah sampah sebagai komoditas ekonomi bisnis. Sampah punya nilai ekonomis tinggi dan bisa diperjual-belikan. Sampah adalah bahan baku daur ulang. Sementara negara-negara maju tampaknya hanya berpikir yang penting bisa membuang sampah. Berarti ada aspek keuntungan finansial yang bisa dipetik.
Jika sampah sebagai bahan baku daur ulang semestinya negara maju tidak membuang ke negara berkembang. Apalagi negara-negara Eropa, seperti Jerman, Austria, Inggris, Belanda, dll sudah berhasil menerapkan kebijakan the modern circular economy. Contoh Jerman telah mengeluarkan Circular Economy Act (KrWG) pada Juni 2012. Prinsip-prinsip intinya meliputi the polluter-pays principple, the five-tier waste hierarchy, dan the principple of shared public.
Dus, berarti negara maju pun tidak mampu menangani sampahnya hingga tuntas. Daur ulang tidak mampu menyelesaikan sampah. Sehingga harus diekspor ke negara berkembang sebagai tempat pembuangan sampah. Bisa juga dikatakan, negara berkembang sebagai TPA sampah negara maju.
Sementara negara berkembang – para impotir-tidak berpikir panjang dan bijaksana serta hanya semata-mata demi keuntungan sesaat. Mereka tidak bertanggungjawab atas resiko pencemaran lingkungan, kesehatan masyarakat, menurunnya kekuatan sosial, ekonomi dan politik lokal.
Sejumlah pakar, aktivis, komunitas pemulung dan pelapak, dll sudah memperingatkan dan protes keras melarang impor sampah dan limbah B3. Sejumlah negara melarang impor sampah, tahun 2018 Cina menutup kran impor sampah. Kapan Indonesia punya keberanian stop impor sampah? Padahal sudah ada basis legalnya, yaitu UU No. 18/2008, UU No. 32/2009 dan aturan turunannya. Kita tunggu ketegasan Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan menutup impor sampah!? Dan Seharusnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI bergerak lebih cepat menjadi Komandan Gerakan Stop Impor Sampah bersama kementerian lain dan elemen-elemen masyarakat lainnya, meskipun penuh resiko dan tantangan.*